Kabar itu merebak cepat sekali. Belum sampai tiga jam setelah kejadian
itu, warga yang berada di ujung desa sudah mengetahuinya. Mungkin karena sudah
begitu seringnya kejadian itu terjadi, kabar itu seperti sudah memiliki
jalannya sendiri untuk menyebar dengan cepat sampai ke ujung desa, bahkan sampai ke desa-desa terdekat
di seberang sungai sana.
Siang itu, satu orang kembali menjadi korban
jembatan gantung
yang semakin hari semakin rapuh itu. Beni anak Pak Badri jatuh dari ketinggian
jembatan, ke kedalaman sungai yang arusnya terkenal deras. Mematikan. Perenang
handal manapun tak akan sudi berenang di sungai itu, yang selain berarus kuat,
di kedalamannya menyimpan bebatuan yang siap membentur kepalamu ketika tubuhmu
sudah termakan arus sungainya. Kau tak akan mampu mengendalikan tubuhmu ketika
arus kuat sudah mengekangmu dan menyeretmu ke kedalaman sungai, kemudian
membawamu menuju ke akhir yang menyakitkan:
kepala bahkan seluruh tubuhmu akan membentur bebatuan
besar yang mendiami dasar sungai.
Ilustrasi cerpen di Harian Suara Merdeka |
Beni ditemukan sudah terapung-apung di permukaan
sungai sekitar satu kilometer dari jembatan itu. Mayatnya ditemukan oleh
pemancing di tepian sungai yang arusnya sudah mulai tenang, berbeda dengan arus
di bawah jembatan itu. Terlihat luka hampir di sekujur tubuhnya. Tak ada lagi
baju yang tertempel di mayat itu. Nampaknya arus yang deras sudah mencerabut
dengan paksa seluruh pakaian dari tubuhnya. Beni sebenarnya tidak pernah
berharap hidupnya berakhir dengan cara seperti ini. Namun tidak ada pilihan lain
baginya. Jembatan gantung dengan papan-papan kayu sebagai pijakannya itu
menjadi satu-satunya jalan
menuju desa di seberang sungai.
Jembatan itu panjangnya 100 meter membentang di
atas sungai. Dan jarak dari jembatan sampai ke permukaan air sungai sekitar 15 meter. Siapapun pasti
sudah akan pasrah ketika terjatuh dari jembatan itu. Jatuh dari ketinggiannya
saja sudah membuat tubuh merasakan sakit yang luar biasa, apalagi ketika
membayangkan arus deras sungai dan bebatuan yang mendiami dasarnya. Ditambah
lagi kondisi jembatan itu sudah tidak bisa dikatakan waras. Tali jembatan sudah
terlihat rapuh dan seperti tinggal menunggu waktu untuk putus. Papan-papan kayu yang menjadi
pijakan sudah banyak yang terlepas hingga terlihat dari ketinggian arus ganas
di bawah sana. Orang-orang yang melewati jembatan itu haruslah memperhatikan
langkahnya agar tak salah melangkah dan terperosok jatuh ke bawah.
Kekhawatiran para orang tua di desa itu sudah mencapai
puncaknya. Mereka semakin khawatir dengan keselamatan anak-anaknya yang harus
melewati jembatan itu untuk bersekolah di desa seberang, karena di desa itu
belum ada sekolah. Kekhawatiran itu juga dirasakan Murdi
dan Sri, istrinya. Mereka tak ingin
kejadian yang menimpa Beni terjadi juga kepada Danu, anak mereka. Danu harus melewati
jembatan rapuh itu untuk berangkat
dan pulang sekolah. Setiap itu juga ia harus
bertaruh nyawa demi bersekolah, demi masa depannya. ‘Aku ingin ikut memajukan
negeri ini,’ katanya dengan lugu suatu hari. Mungkin itu terlihat sebagai
kebesaran hati dari seorang rakyat yang ingin memajukan negeri walaupun
hidupnya sendiri belum diperhatikan oleh negeri. Tapi sungguh, Danu belum
menyadari hal-hal seperti itu. Ia hanya ingin menjalankan perintah gurunya
untuk menjadi murid yang rajin dan berguna bagi negerinya.
Seluruh warga nampaknya
harus berbesar hati setiap hari melewati jembatan rapuh itu untuk melakukan
aktivitasnya. Begitu juga yang dialami Murdi. Murdi setiap hari harus menuju
kebun yang digarapnya di desa seberang sungai. Ia tak punya kebun sendiri.
Kebun yang digarapnya adalah kebun milik warga desa seberang.
“Pak, anakmu itu diajak berangkat sekalian! Ibu
teringat kejadian yang menimpa Beni beberapa hari yang lalu.” Kata Sri, yang semakin khawatir
akan keselamatan anaknya.
“Iya.
Tapi sebenarnya anakmu itu juga sudah bisa berhati-hati dan menjaga dirinya
sendiri. Tak perlulah Ibu
terlalu mengkhawatirkannya.”
“Bapak ini cuma berangkat bareng anaknya saja apa
susahnya? Kalau
terjadi apa-apa....”
“Ya sudah. Nanti Danu biar berangkat bareng bapak.”
Dan setelah percakapan pada suatu pagi itu, Murdi
akhirnya berangkat ke desa seberang bersama anaknya. Ketika
mereka tiba di jembatan, terlihat di sekitar jembatan sudah berkumpul banyak
orang. Mereka berdua penasaran,
sebenarnya apa yang terjadi sehingga begitu banyak orang berkerumun? Apakah ada
korban lagi?
Setelah mereka mendekat, menurut informasi warga yang berada di sana, ternyata sedang ada
pengambilan gambar untuk suatu program berita dari stasiun televisi nasional. Maka setelah itu, tentu akan banyak orang mengetahui dan merasa harus ikut
prihatin akan keadaan ini.
Benar saja, seminggu setelah itu, tepatnya beberapa minggu sebelum dilaksanakan pemilu, ada
kabar yang mengatakan bahwa seorang pejabat dari kota akan menyumbangkan kapal
untuk transportasi menyeberang sungai tersebut. Kapal itu akan dioperasikan
agak jauh lokasinya dari jembatan. Tepatnya
di bagian sungai yang memang arusnya agak
tenang. Itu
berarti warga harus memutar lebih jauh karena lokasi pengoperasian kapal jauh dari jembatan,
jalan yang biasa dilalui warga. Selain itu, yang membuat warga berpikir dua
kali untuk memanfaatkan kapal itu adalah setiap menyeberang warga diharuskan
membayar untuk keperluan bahan bakar. Maka, setelah kapal itu beroperasi,
banyak warga yang masih memilih untuk melewati jembatan ketimbang memanfaatkan
kapal tersebut.
***
Kabar buruk
menimpa warga desa lagi. Dua hari yang lalu, jembatan yang bertahun-tahun telah
berjasa bagi warga desa akhirnya putus. Angin kencang ketika hujan deras turun,
membuat jembatan tak dapat lagi bertahan. Maka,
tentu saja warga tidak punya pilihan lain. Mau tidak mau, mereka harus
menggunakan kapal untuk menyeberang. Mau tidak mau, mereka harus
mengeluarkan uang setiap harinya untuk menuju
desa seberang.
“Danu, kamu sekarang harus lebih berhemat. Uang
sakumu akan bapak kurangi untuk membayar ketika menyeberang. Kita harus hidup
lebih berhemat sekarang.”
Hal
itu tidak hanya menimpa keluarga Danu. Kebanyakan warga yang memang hanya
bekerja sebagai petani, harus lebih cermat
mengatur keuangannya. Para ibu yang hendak ke pasar juga harus mengeluarkan
uang untuk menyeberang karena pasar hanya ada di desa seberang. Karena sulitnya transportasi,
di desa itu belum ada pasar. Seluruh warga betul-betul merasa terbebani dengan
keadaan seperti itu. Hidup, mereka rasakan lebih
susah setelah jembatan itu putus. Sumbangan kapal itu ternyata belum juga dapat
memudahkan warga beraktivitas. Para warga
tidak tahu harus berbuat apa selain menyisihkan uang setiap harinya untuk
menyeberang sungai.
Suatu sore, ketika Danu pulang dari mengaji di
surau, ia dengan penuh semangat berlari menuju Murdi dan seketika bercerita
kepadanya tentang mukjizat yang dimiliki Nabi Musa. Dalam mata anaknya itu, Murdi seolah melihat
kedamaian yang akan segera terjadi. Murdi hanya menanggapi anaknya itu dengan
tersenyum. Dalam pikirannya,
ia sadar bahwa anaknya itu masih sangat kecil. Bagaimana tidak? Mungkin
anaknya itu berpikir bahwa akan ada orang seperti
Musa saat ini, dan menolong seluruh warga desa dari kesulitan ini. Murdi
kemudian hanya mengusap kepala anaknya. Sedangkan Danu, ia masih begitu
bersemangat bercerita tentang kehebatan Nabi
Musa.
“Pak, kata Ustaz, Nabi Musa bisa membelah lautan
dengan tongkatnya. Nanti kita bisa ke desa seberang tanpa kapal. Nabi Musa akan
membelah arus sungai dan kita bisa berjalan di tengahnya. Pasti asyik ya, Pak?”
***
Pagi itu, Murdi sudah bangun begitu awal. Pagi-pagi
sekali, Murdi sudah berada di tepi sungai. Entah mengapa ia begitu ingin menuju
sungai dan menikmati kesunyian sebelum sebentar lagi mulai akan muncul
orang-orang yang berbondong-bondong mengantre untuk naik kapal dan menyeberang.
Di kesunyian itu, tiba-tiba ia melihat seorang pria dengan baju putih mendekat
ke sungai. Entah siapa, tidak begitu jelas dilihatnya. Pria itu lantas
mengambil tongkat yang sepertinya hanya ranting kayu biasa dan memang sudah ada
sedari tadi di sana. Pria itu kemudian melangkah masuk ke sungai dan mengangkat
tongkat kayu itu tinggi-tinggi. Dan ternyata, pada akhirnya
tongkat itu dipukulkan keras-keras ke aliran sungai.
Tiba-tiba entah bagaimana caranya, air di sekitar
tongkat itu mulai menjauh dan sungai terlihat membelah. Air di sekitar tongkat
terus menggulung ke atas, dan sungai benar-benar terbelah. Bebatuan di dasar
sungai berangsur-angsur terlihat. Semakin lama belahan itu semakin memanjang
hingga sampai ke seberang. Kemudian terlihat seperti lorong terbentuk di sana.
Lorong yang menuju ke seberang
tentunya.
Murdi terkejut melihat hal itu. Ia kemudian lari ke
rumah dengan berteriak-teriak di sepanjang jalan.
“SUNGAI TERBELAAH.. SUNGAI TELAH TERBELAAH..”
***
“Pak, Pak bangun! Kamu kenapa? Tidur kok
teriak-teriak. Aneh-aneh saja.
Bapak pasti mimpi gara-gara tadi diceritain si Danu, ya? Haha..” Sri tertawa
setelah membangunkan Murdi dari mimpinya. Danu yang berada di sampingnya ikut
terkikik-kikik melihat ayahnya yang mengigau. Murdi benar-benar malu. Ia tak
habis pikir, bisa-bisanya cerita Danu
itu terbawa hingga mimpi.
Keringat masih terlihat membasahi keningnya. Ia
akhirnya sadar mana mungkin ada orang yang bisa membelah sungai. Ia terlihat duduk diam dan tergugu di beranda setelah itu. Dalam
pikirannya, mungkin memang kesulitan ini masih akan berlangsung lama. Apalagi
warga juga sudah bosan mengajukan protes kepada pemerintah untuk pembangunan
jembatan, dan sampai sekarang belum mendapat tanggapan. Ia tak tahu harus
berbuat apa lagi.
Tiba-tiba dari kejauhan datang seseorang berlari
menghampirinya, dan kemudian membuyarkan lamunannya. Nampaknya ada hal penting
yang ingin disampaikan hingga ia terlihat tergesa-gesa seperti itu.
“Pak, pokoknya sekarang Bapak harus menuju sungai.
Ayo Pak! Ini benar-benar aneh. Banyak yang mengatakan, di sana ada seseorang yang dapat
membelah air sungai. Sekarang sudah banyak
warga yang berkumpul. Ayo Pak, Cepat! Saya juga akan ke sana.”
*Cerpen ini pernah dimuat di Harian Suara Merdeka 19
April 2015
Comments
Post a Comment