Penyebar “Virus” Menulis dari Yogyakarta

Irwan Bajang, pendiri Independent School ©foto koleksi pribadi Irwan Bajang

NYALARUANGBACA.BLOGSPOT.COM-Oleh Aqib Wisnu Priatmojo



“Pendidikan adalah hak, harus murah, kalau bisa gratis.”

Begitu yang dikatakan Irwan Bajang (30) ketika ditanya tentang tujuannya mendirikan sekolah menulis gratis Independent School pada tahun 2011 silam. Sekolah itu ia dirikan untuk semua orang yang tertarik pada dunia kepenulisan, maupun dunia kreatif lainnya. Selain kelas kepenulisan, sekolah ini juga menggelar kelas-kelas lain seperti kelas desain, penyuntingan, hingga pemasaran buku. “Saya hanya ingin mengajak orang lain menulis. Siapa saja yang mau belajar, bisa bergabung. Tidak ada syarat selain keinginan,” ujar lelaki yang biasa dipanggil Bajang itu.

Ide untuk mendirikan Independent School ini berasal dari pengalamannya sendiri sebagai penulis. Ketika mengawali karirnya menulis dulu, ia merasa cukup kesulitan karena belajar menulis secara otodidak. Dengan Independent School ini, ia tidak ingin orang lain yang memiliki minat menulis merasa kesulitan seperti dirinya. Maka ia mengajak penulis-penulis lainnya untuk memberi pelatihan kepada orang-orang yang ingin menulis.

“Jika ada guru atau mentor, seharusnya seseorang bisa belajar lebih intens dan gampang. Kalau mau ikut sekolah menulis, biasanya mahal. Nah saya nggak mau orang-orang kesusahan seperti saya di awal karir dulu. Saya memutuskan mengajak para penulis lainnya untuk memberi bantuan tenaga dan pikiran untuk mengajak lebih banyak lagi orang untuk menulis,” terang lelaki kelahiran Lombok Timur, 22 Februari 1987 ini.

Kecintaan Bajang pada dunia baca-tulis dimulai sejak kecil. Sejak sekolah dasar, ia sudah banyak membaca cerita dongeng. Kesenangannya pada membaca itu terus berlanjut, hingga ketika masuk SMP, kebiasaannya menulis dimulai. 

“Sejak usia sekolah dasar, nenek sering mendongeng untuk saya dan adik-adik sebelum tidur. Kalau menulis sudah dimulai sejak SMP. Waktu itu, ada majalah dinding yang kosong. Daripada tidak ada yang mengisi, saya isi dengan tulisan-tulisan saya. Itu berlanjut ketika SMA, dan saya mengurus majalah dinding sekolah,” terang lelaki yang kini menetap di Yogyakarta ini.

Sebelum mendirikan Independent School, pada tahun 2009 Bajang lebih dulu mendirikan Indie Book Corner, sebuah penerbitan indie di Yogyakarta. Indie Book Corner ini merupakan wadah pertama untuk membantu banyak orang yang kesusahan dalam menerbitkan bukunya. Kantor penerbitan ini menjadi satu lokasi dengan Dongeng Kopi, sebuah kedai kopi yang terletak di bilangan Condongcatur, Depok, Sleman. Terletak di pinggir jalur lingkar Yogyakarta yang padat, Dongeng Kopi seperti menjadi tempat menepi dari aktivitas perkotaan yang gegas. Di tempat ini, waktu seakan berjalan lambat. Setiap orang bisa sejenak istirahat, melepas penat, dan merasakan atmosfer kolaborasi kreatif yang penuh semangat. Selain kedai kopi dan penerbitan, di lokasi ini terdapat juga sebuah toko buku bernama “Toko Budi”. Kelas-kelas Independent School juga kerap digelar di tempat ini. Independent School memang tidak menuntut adanya tempat secara resmi. Sekolah itu bisa digelar di manapun, seperti bekerja sama dengan sekolah-sekolah formal, komunitas, organisasi, dan sebagainya.

“Independent school tidak mempunyai tempat tetap, selain kantor Indie Book Corner saat ini. Kami bekerjasama dengan komunitas, lembaga, sekolah, atau apa saja. Kami mencari lokasi atau tempat yang bersedia memberikan akses. Kami mengundang para pengisi acara dan mengajak yang ingin terlibat untuk mengikuti kelas. Para peserta kemudian didampingi terus hingga berhasil,” ujar Bajang. 

Infografis Penyebar “Virus” Menulis dari Yogyakarta ©Aqib Wisnu Priatmojo

Setelah 6 tahun berjalan, Independent School telah banyak membantu peserta-peserta pelatihan di dalamnya. Bajang menuturkan, ada banyak peserta yang kini telah sukses menjadi penulis, bahkan di antaranya memiliki banyak pembaca. Ada juga peserta yang kemudian memiliki penerbitan sendiri. “Beberapa yang lain bahkan membuat kelas-kelas sendiri yang mirip dengan Independent School. Tentu ini menyenangkan sekali,” imbuhnya. 

Bajang tidak sepakat dengan anggapan minat baca masyarakat Indonesia itu rendah. Lebih lanjut, ia menuturkan bahwa hal itu terjadi karena akses bacaan yang tidak merata dan harga bacaan yang mahal.  “Minat baca rendah itu mitos. Hal itu terjadi karena akses bacaan yang tidak merata, harga bacaan mahal. Kalau keduanya sudah terpecahkan, mitos itu akan hilang dengan sendirinya,” kata Bajang.

Dalam dunia kepenulisan, masih menurut Bajang, setelah internet dan media sosial berkembang, semua orang punya peluang berkarya lebih gampang. Media sudah terbuka dan siapa saja bisa menulis dengan gratis. Ia berpendapat, saat ini jumlah penulis Indonesia sudah sangat banyak. Apalagi pekerjaan sebagai penulis sudah makin populer dan menghasilkan.

Atas upayanya menyebarkan virus menulis ini, Bajang telah mendapatkan berbagai apresiasi. Salah satunya berupa penghargaan Semangat Astra Terpadu Untuk Indonesia (SATU Indonesia) Awards tahun 2014 dalam bidang pendidikan. Bajang mengatakan, menurut juri, penghargaan itu diberikan berkat kegigihannya menyebarkan virus menulis kepada masyarakat. Ia mengaku, pada awalnya tidak tahu mengenai penghargaan ini. Bahkan menariknya, sampai saat ini ia tidak tahu siapa yang telah mendaftarkannya untuk menerima penghargaan ini. “Saya tadinya tidak tahu, bahkan sampai saat ini saya tidak tahu siapa yang mendaftarkan saya. Prosedur pendaftaran memang ada dua pilihan. Mendaftar sendiri, atau mendaftarkan orang lain yang dianggap memberi kontribusi pada masyarakat,” kata Bajang.

Meski begitu, ia merasa bersyukur atas penghargaan ini dan terpilih dari 1.833 pendaftar lainnya. Terlebih lagi, ia senang ada pihak-pihak yang peduli dengan dunia pendidikan, seperti Astra yang memiliki semangat untuk memberikan nilai tambah yang berkelanjutan bagi masyarakat Indonesia. “Apresiasi berupa dana bantuan dari Astra itu kami pakai untuk menyelenggarakan sekolah-sekolah gratis, membuat alat peraga, membuat lomba menulis, dan mengadakan kelas lebih banyak lagi. Kami anggap itu anugerah dan titipan yang harus kami salurkan kembali,” kata Bajang.

Menurut Bajang, selain dana bantuan tersebut, adanya penghargaan ini juga berdampak pada meluasnya publikasi program Independent School. Dengan begitu lebih banyak lagi orang yang mengetahui tentang Independent School dan lebih banyak juga yang memberi bantuan. Sehingga makin banyak kelas yang bisa ia jalankan. Lebih lanjut, ia berharap ke depan masih tetap konsisten menjalankan Independent School ini.

“Kami ingin tetap konsisten di jalan pendidikan. Kami ingin Independent School menjadi bentuk sekolah yang ideal, di mana para guru adalah praktisi langsung, kelasnya menyenangkan dan gratis, lalu bisa di mana saja. Kami juga ingin mengadakan kelas yang bukan semata tentang menulis, tetapi juga kegiatan positif lainnya,” pungkas Bajang.


*Tulisan ini diikutsertakan dalam Anugerah Pewarta Astra 2017

Comments