Sumber gambar: decorating-hq.com |
Bukit
itu sebelumnya hanya seperti putri tidur, meringkuk di bagian selatan pulau ini,
dan tidak banyak orang yang berani menyusuri. Maka hewan-hewan berkembang biak
dengan leluasa. Ular-ular panjang dan besar banyak ditemukan di sana. Berbagai
macam tumbuhan tumbuh menjulang seperti tak dapat dihentikan. Bukit itu seperti
rumah kosong yang sudah lama ditinggal penghuninya. Pada rumah yang lama tak
dihuni, tumbuhan merambat, berbagai macam serangga, dan udara lembab, hadir
seperti tak terkendali lagi. Jika sudah seperti itu, biasanya orang akan
mengaitkan rumah itu dengan cerita-cerita mistis. Maka begitupun juga dengan
bukit itu. Banyak cerita-cerita mistis yang muncul mengenai bukit yang membisu
di daerah terpencil itu. Mungkin itu juga yang menjadi salah satu alasan, tidak
banyak orang berani ke sana.
Tapi
saat ini semuanya telah berubah. Berawal dari seorang lelaki pengangguran, yang
mencoba menyusuri bukit seorang diri. Lelaki yang tinggal di kaki bukit itu, mengatakan
telah menemukan bongkahan batu berdaya jual tinggi. Batu yang sedang banyak
diburu seluruh orang di negeri ini. Banyak orang dari penjuru desa, bahkan ada
juga yang dari kota, berdatangan ke bukit itu. Semuanya sama, atas dasar satu
tujuan, mendapatkan batu yang dikatakan mampu mewujudkan impian.
Sebelumnya,
kegiatan sehari-hari lelaki pengangguran itu hanya ngopi di depan rumah waktu pagi, kemudian nongkrong-nongkrong di warung saat siang hari, dan kembali ke rumah
saat sore hari, untuk keluar lagi ketika malam sudah mulai menua. Ia habiskan
hari-harinya untuk menyusahkan orang tua.
Orang
tua lelaki itu sebenarnya memilki sawah yang meskipun memang tak seberapa.
Namun, lelaki yang sekedar lulus SMP itu, hanya sesekali saja mau pergi ke
sawah untuk membantu orang tuanya. Ia juga enggan mengikuti nasehat orang
tuanya untuk mencari kerja ke kota. Ia memilih untuk membusuk di desa,
menghabiskan uang orang tua untuk membeli rokok, kopi, atau sesekali berjudi.
Adalah hal yang pasti, bahwa di kemudian hari, lelaki itu akan menjadi bahan
gunjingan seluruh warga desa.
Semakin
lama, ia merasa gerah juga dengan gunjingan-gunjingan warga terhadap dirinya. Kemudian
ia semakin sering memimpikan mendapat pekerjaan dengan hasil besar. Ia bertekad
untuk menjadi orang sukses, dan membeli semua omongan-omongan warga. Sampai
suatu ketika, akhirnya ia bertemu dengan salah satu temannya yang baru pulang
dari kota. Temannya itu menunjukkan padanya sebuah cincin yang melingkar di
jarinya. Mata cincin itu terbuat dari
batu yang berbentuk oval. Batu itu disebut dengan batu akik. Sebenarnya ia juga
pernah tahu mengenai batu akik itu. Lantas, mengapa temannya begitu bersemangat
menceritakan batu itu?
Ternyata
batu yang disebut akik itu sedang begitu populer di negara ini. Banyak orang
mencarinya. Bahkan beberapa jenis batu itu bisa terjual hingga puluhan juta.
Kabar sedang maraknya batu itu memang belum sampai ke desa ini. Karena memang
belum tersentuh aliran listrik, maka segala informasi dari televisi belum bisa
dinikmati.
“Batu
ini pernah ditawar orang tiga juta rupiah,” kata temannya itu. “Tetapi aku
memutuskan untuk tidak melepasnya”
Hari-hari
selanjutnya, ternyata ia terus memikirkan batu akik itu. Ia begitu tertarik
dengan batu yang dapat terjual bahkan hingga puluhan juta. Setiap hari,
kepalanya terus berpikir keras tentang bagaimana caranya untuk mendapatkan batu
seperti itu. Kemudian suatu hari, tiba-tiba ia teringat lagi perkataan
temannya. “Bahan mentah untuk batu ini biasanya ditemukan di aliran sungai atau
dinding bukit. Bahkan ada juga yang harus menggali beberapa meter ke dalam
bukit.”
Ia
sadar, di dekat desanya ini memang ada bukit yang masih begitu asri. Para warga
tidak berani bahkan sekedar mengambil kayu bakar saja dari bukit itu, karena
cerita-cerita mistis yang berkembang di desanya. Bukit itu begitu disakralkan. ‘Tapi
bagaimana jika memang benar di bukit tersebut ada batu yang sedang banyak
dicari itu?’ pikirnya.
Ternyata
benar, keesokan harinya ia berangkat seorang diri ke bukit itu. Ia membawa
alat-alat untuk menggali; tas, palu, dan juga tali-temali. Ia berangkat
pagi-pagi sekali agar tidak ada warga yang mengetahui. Sesampainya di bukit
itu, ia bingung harus mulai mencari di mana, dan seperti apa bentuk bahan
mentah batu akik tersebut. Akhirnya ia memutuskan untuk menggali di sebuah
tebing bukit.
Mulailah
ia menggali tanah dengan peralatan yang dibawanya. Ia memukul, mengeduk dan
mengamati. Terus seperti itu, hingga beberapa meter ke dalam. Sesekali juga ia beristirahat,
meminum air dan memakan bekal yang dibawa. Kemudian ia mulai lagi untuk memukul,
mengeduk, dan mengamati. Jika merasa sudah dalam, dan belum menemukan apapun,
ia pindah ke sisi lain dan menggali lagi. Sampai hari sudah siang, ia belum
menemukan batu yang dicari. Pada tebing bukit itu sudah terlihat beberapa
lubang, seperti lubang tikus, yang telah dibuatnya hingga siang itu. Ia tidak
menyangka bahwa dirinya sanggup menggali beberapa lubang itu. Mungkin bayangan
tentang hasil yang besar, mampu menjadi penambah tenaga baginya.
Langit
mulai terlihat mendung siang itu. Ia memutuskan untuk segera menggali lagi di
sisi yang lain, sebelum hujan turun. Ia takut hujan akan menghambat
penggaliannya. Setelah beberapa meter ke dalam, dan pukulan yang entah ke
berapa, ia merasa pukulannya menghantam sesuatu yang keras. Mulailah ia
mengaduk dan menyingkirkan tanah di sekitar benda itu. Setelah terlihat,
ternyata itu adalah batu. Ia masih belum tahu apakah benar batu itu yang
dicari. Ia memutuskan untuk mengeluarkannya. Ternyata hujan mulai turun. Ia memutuskan
untuk membuat tempat berteduh, dan mengurungkan dulu niatnya untuk pulang dan
membawa batu itu pada temannya. Ia membiarkan batu itu terguyur hujan.
Setelah
hujan reda, ia memutuskan pulang. Ia mengambil batu itu dan alangkah
terkejutnya lelaki itu ketika melihat bahwa batu yang dipegangnya sedikit
berwarna dan terdapat seperti lapisan kaca di dalamnya. Batu itu terlihat
tembus cahaya. Ternyata air hujan telah membersihkan tanah yang menutupinya.
Di
perjalanan pulang, ia merasa yakin benar ini adalah batu yang dicari. Batu ini
memiliki ciri sama seperti yang dikatakan temannya tempo hari. Ia menunjukkan
batu yang ditemukannya itu kepada temannya. Temannya itu terkejut setelah
melihat batu yang dibawanya. Ia langsung mengajaknya ke kota untuk mengecek
apakah benar batu ini adalah batu yang dicari. Sesampainya di kota, ternyata
benar batu ini adalah batu yang bernilai jual tinggi. Bahkan beberapa orang
kemudian sudah menawar padanya jutaan rupiah. Tapi ia menolak dan membawanya
kembali pulang. Ia ingat temannya itu pernah mengatakan bahwa jika batu itu
diolah dan sudah dibentuk, akan memiliki nilai jual lebih tinggi.
Kemudian
kabar mengenai penemuan batu di bukit itu tersebar luas dengan cepat, seperti
jamur di musim hujan, merembet cepat ke seluruh penjuru kota. Beberapa hari
setelahnya, banyak pemburu batu dari seluruh penjuru kota mendatangi bukit itu.
Akhirnya seluruh warga desa juga tahu perihal lelaki pengangguran yang telah
menemukan batu bernilai jual tinggi di bukit sakral itu. Seluruh warga desa
merasa keberatan dengan kedatangan begitu banyak warga kota ke bukit yang
disakralkan mereka. Mereka takut orang-orang itu merusak lingkungan bukit.
Mereka takut dengan bencana yang mungkin menimpa.
Warga
akhirnya berbondong-bondong mencari lelaki pengangguran itu dan menuntut untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Mereka menganggap karena lelaki itulah,
bukit itu sekarang menjadi ramai didatangi orang. Mereka berteriak-teriak
sepanjang jalan menuju rumah lelaki tersebut. Sesampai di rumah lelaki itu,
warga semakin terlihat beringas. Jika tidak ada Pak Lurah yang menenangkan
warga, mungkin rumah itu sudah hancur dilempari batu.
Pak
Lurah kemudian menemui kedua orang tua lelaki itu. Beberapa warga tidak bisa
diam, dan mencoba ingin lari masuk rumah dan mencari lelaki itu.
“Cepat!
Suruh keluar anak Bapak itu!” kata salah seorang warga.
“Benar,
biar ia tahu akibat perbuatannya!”kata yang lainnya.
“Tenang
dulu! Biar saya berbicara dengan kedua orang tuanya,” kata Pak Lurah mencoba
menenangkan.
Setelah
kedua orang tuanya keluar, mereka menjelaskan bahwa anaknya itu beberapa hari
tidak pulang ke rumah. Mungkin ia kembali ke bukit itu, tinggal di sana, dan
menambang batu itu lagi. Sebenarnya mereka sudah berkali-kali menasehati untuk
berhenti menambang. Selain ia juga sudah mendapatkan batu yang cukup mahal jika
dijual, juga sudah banyak warga yang memprotes perbuatannya itu. Tapi anaknya,
tidak menggubris nasehat mereka.
Mendengar
penjelasan kedua orang tua lelaki itu, para warga justru semakin tersulut
emosinya. Mereka kemudian sepakat untuk mencari lelaki pengangguran itu ke
bukit. Mereka memutuskan untuk membawa kayu atau benda-benda tajam untuk
senjata, karena di bukit itu mereka juga akan menghadapi puluhan orang dari
kota. Setelah itu mereka berkumpul di lapangan desa. Tentunya dengan balok-balok
kayu, golok, celurit, atau benda-benda lainnya.
Kemudian
mereka berbondong-bondong menuju bukit. Hujan turun deras di tengah perjalanan.
Namun itu tidak menghentikan laju warga yang telah dikuasai amarah. Sesampainya
di bukit, terlihat puluhan orang sedang berteduh di gubuk-gubuk yang dibuat
mereka. Beberapa orang yang mengerti kedatangan warga dengan berbagai senjata,
lari tunggang langgang entah kemana. Dari puluhan orang yang lari itu, belum
terlihat lelaki pengangguran yang mereka cari. Mungkin ia masih berada di dalam
lubang yang memang terlihat begitu banyak telah melubangi tebing bukit. Warga
memutuskan untuk menantinya di luar.
Hujan
turun semakin deras. Tidak berapa lama, tiba-tiba terdengar gemuruh dari atas
bukit. Kemudian tanah terlihat bergerak. Jatuh. Tanah itu berdebam jatuh ke
bawah, beberapa batu besar menggelinding. Warga berlarian menyelamatkan diri.
Bukit
itu sebelumnya hanya seperti putri tidur, meringkuk di bagian selatan pulau
ini, dan tidak banyak orang yang berani menyusuri.
Surakarta, 16 Maret
2015
*Pernah dimuat di Koran Minggu Pagi Yogyakarta
Comments
Post a Comment