PELAJARAN BERBISNIS DARI UTSMAN BIN AFFAN: KISAH SUMUR DAN REKENING 1400 TAHUN


Utsman bin Affan merupakan Khulafaur Rasyidin yang ke-3, setelah Khalifah Umar Bin Khattab R.A. Utsman adalah menantu sekaligus sahabat Nabi Muhammad SAW. Ia juga dikenal sebagai seorang saudagar yang kaya dan sangat dermawan. Beliau adalah seorang pedagang kain yang kaya raya.

Kekayaannya ini ia belanjakan guna mendapatkan keridhaan Allah SWT, yaitu untuk pembangunan umat dan ketinggian Islam. Beliau memiliki kekayaan ternak lebih banyak dari pada orang arab lainya pada saat itu.

Berikut adalah salah satu kisah yang dapat menggambarkan betapa kaya dan dermawannya Utsman:

Pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq R. A. terjadi musim paceklik yang dahsyat. Kaum muslimin mendatangi khalifah Abu Bakar dan mengeluhkan tentang kondisi tersebut dan bertanya tentang apa yang harus mereka lakukan untuk mengatasi kondisi tersebut.

Khalifah Abu Bakar pun menenangkan kaum muslimin yang datang pada saat itu dan mendoakan semoga Allah segera menurunkan pertolongan pada mereka sebelum malam tiba.

Menjelang sore, datanglah rombongan kafilah dagang yang baru pulang dari berdagang. Rombongan ini ternyata adalah rombongan dari saudagar Utsman bin Affan yang baru saja berbelanja sekaligus berdagang dari negeri Syam. Mereka membawa seribu unta yang mengangkut berbagai kebutuhan penduduk seperti gandum, minyak, dan kismis. Kedatangan rombongan kafilah dagang ini segera mengundang para tengkulak (pedagang) kota untuk membeli barang-barang kebutuhan yang dibawa oleh rombongan kafilah tersebut. Mereka bermaksud membeli barang-barang dagangan dari kafilah Utsman bin Affan untuk kemudian dijual kembali kepada para penduduk dengan mengambil keuntungan.

Ketika mereka bertanya kepada Utsman bin Affan tentang harga jual dari barang-barang tersebut, Utsman pun dengan lantang berkata kepada mereka, “Dengan segala hormat, berapa banyak keuntungan yang akan kalian berikan kepadaku?” Dengan penuh semangat mereka menjawab, “Dua kali lipat wahai Utsman.” Utsman menjawab, “Sayang sekali! Penawaran kalian belum dapat menyaingi penawaran yang sudah aku terima. Sudah ada penawaran yang lebih tinggi dari kalian.”

Para pedagang lokal tentu tidak menyerah begitu saja, karena mereka tahu bahwa penduduk kota saat itu sedang sangat membutuhkan barang-barang kebutuhan tersebut sehingga kemungkinan besar pasti akan laku meskipun dijual kembali dengan harga tinggi. Merekapun kemudian menaikkan tawarannya sampai lima kali lipat dari penawaran pertama. Akan tetapi Utsman bin Affan tetap menolak dengan alasan yang sama yaitu bahwa sudah ada penawar lain yang menawar lebih tinggi lagi dari penawaran para pedagang tersebut.

Atas reaksi Utsman bin Affan tersebut para pedagang tentu menjadi sangat penasaran, siapakah orang yang sudah berani menawar semua dagangan itu dengan harga yang lebih tinggi dari penawaran mereka, yang saat itu sudah sangat tinggi menurut mereka? Akhirnya para pedagang pun mengajukan pertanyaan lagi kepada Utsman, “Hai Utsman, di kota Madinah ini sepertinya sudah tak ada lagi pedagang yang dapat membeli daganganmu selain kami. Selain itu kami juga paling duluan menawar dagangan mu. Jadi siapakah orang yang mendahului kami dan berani menawar lebih tinggi dari kami?” Utsman bin Affan pun akhirnya menjawab, “Allah SWT memberikan kepadaku sepuluh kali lipat, apakah kalian mau memberi lebih dari itu?”

Utsman melanjutkan perkataannya, “Allah telah menjadi saksi bahwa seluruh barang yang dibawa kafilah ini merupakan sedekah dariku untuk para fakir miskin dan kaum Muslimin, aku ikhlas karena Allah, karena aku semata mencari ridha-Nya.” Pada sore hari itu juga Utsman bin Affan r.a. membagi-bagikan seluruh makanan yang dibawa oleh kafilah tadi kepada fakir miskin dan kaum muslimin Madinah. Semuanya mendapat bagian yang cukup untuk kebutuhan keluarganya masing-masing dalam jangka waktu yang lama.

_______________
KISAH SUMUR UTSMAN BIN AFFAN

Berbisnis dengan Allah tidak akan pernah membawa kerugian. Hal itulah yang ditunjukkan Utsman pada kisah ini.

Waktu itu, kota Madinah dilanda paceklik sehingga kesulitan mendapatkan air bersih. Satu-satunya yang tersisa adalah sumur milik seorang Yahudi yang bernama sumur Raumah. Kaum muslimin dan penduduk Madinah harus antre dan membeli air bersih orang Yahudi tersebut.

Nabi kemudian menghimbau agar ada dari kaum muslimin yang bisa membebaskan sumur itu dan menyumbangkannya untuk ummat agar mendapatkan surga Allah SWT.

Utsman bin Affan Ra tergerak hatinya dan menemui Yahudi pemilik sumur Raumah. Namun, meski Utsman memberikan penawaran harga tertinggi, si Yahudi tidak mau menjualnya. Dia bilang, “Seandainya sumur ini aku jual kepadamu wahai Ustman, maka aku tidak bisa mendapatkan penghasilan yang bisa aku peroleh setiap hari.”

Karena ingin sekali mendapatkan pahala berupa surga Allah, Utsman sebagai seorang pebisnis tidak kehilangan akal mengatasi penolakan Yahudi itu. “Bagaimana kalau aku beli setengahnya saja dari sumurmu?” Utsman mencoba bernegosiasi.
“Maksudmu?” tanya Yahudi keheranan.
“Jika engkau setuju, kita memiliki sumur ini bergantian. Satu hari sumur ini milikku, esoknya kembali menjadi milikmu. Lusa menjadi milikku lagi. Begitu seterusnya berganti-ganti setiap hari. Bagaimana?” Jelas Utsman.

Yahudi itu pun berpikir cepat, “Aku mendapatkan uang besar dari Utsman tanpa kehilangan sumur milikku.” Akhirnya dia menerima tawaran Utsman.

Hari pertama itu disepakati sumur milik Utsman. Beliau mengumumkan kepada penduduk Madinah yang mau mengambil air di sumur Raumah. Mereka dipersilakan mengambil air secara gratis seraya mengingatkan agar mereka mengambil air dalam jumlah yang cukup untuk 2 hari karena esoknya sumur itu akan menjadi milik orang Yahudi itu lagi.

Keesokan harinya, si Yahudi mendapati sumur miliknya sepi pembeli karena penduduk masih memiliki persediaan air di rumah. Yahudi itupun mendatangi Ustman dan berkata, “Wahai Utsman belilah setengah lagi sumurku ini dengan harga sama seperti engkau membeli setengahnya kemarin.” Utsman setuju lalu dibelinya dengan harga 20.000 dirham. Maka sumur itupun menjadi milik Utsman sepenuhnya.

Utsman lalu mewakafkan sumur Raumah. Sejak itu, sumur Raumah bisa dimanfaatkan oleh siapa pun termasuk si Yahudi, pemilik lamanya.

Beberapa waktu kemudian, tumbuhlah pohon kurma di sekitar sumur. Jumlahnya terus bertambah dan dipelihara oleh Bani Utsmaniyah. Lalu disusul pemeliharannya oleh pemerintah Saudi hingga berjumlah 1.550 pohon.

Selanjutnya, Departemen Pertanian Pemerintah Saudi menjual hasil kebun kurma ini ke pasar-pasar. Setengah dari keuntungan disalurkan untuk anak-anak yatim dan miskin. Setengahnya lagi disimpan dalam bentuk rekening di salah satu bank atas nama Utsman bin Affan sampai sekarang sejak 1400 tahun yang lalu.

Waktu terus berjalan hingga uang di bank itu cukup untuk membeli sebidang tanah dan membangun hotel yang cukup besar di lokasi strategis dekat Masjid Nabawi. Hotel itu kemudian diberi nama Hotel Utsman bin Affan karena dibangun dari uang rekeningnya. Hotel tersebut diperkirakan dapat menghasilkan omzet sekitar RS 50 juta per tahun. Setengah keuntungannya untuk anak yatim dan fakir miskin, dan setengahnya lagi kembali dimasukkan ke rekening Utsman di bank.

Kisah ini benar-benar menjadi bukti bahwa kalau berdagang mengharap ridha Allah SWT maka akan selalu menguntungkan, tidak akan pernah merugi. Ini salah satu bentuk sedekah jariyah yang pahalanya terus mengalir.

Model bisnis seperti ini juga yang coba kami lakukan di Gerakan Menulis Buku Indonesia. Kami mengajak penulis untuk ikut berdonasi buku ke pelosok-pelosok Nusantara sehingga ilmu dari buku-buku tersebut akan terus tersebar dan memberi manfaat bagi banyak orang. Semoga Allah meridhoi usaha-usaha kami dan kawan-kawan pembaca semua. Karena ilmu yang bermanfaat adalah salah satu amalan yang tidak akan terputus bahkan setelah kita meninggal.

“Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah segala amalannya, kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendoakannya”. [HR. Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i].

Dan disebutkan pula pada hadits riwayat Ibnu Majah dan Baihaqi dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya di antara amalan dan kebaikan seorang mukmin yang akan menemuinya setelah kematiannya adalah: ilmu yang diajarkan dan disebarkannya, anak shalih yang ditinggalkannya, mushaf yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya, rumah untuk ibnu sabil yang dibangunnya, sungai (air) yang dialirkannya untuk umum, atau shadaqah yang dikeluarkannya dari hartanya diwaktu sehat dan semasa hidupnya, semua ini akan menemuinya setelah dia meninggal dunia”.

Disusun dari berbagai sumber: 

-Rachmawati, Fauziah. 2015. 10 Kunci Rezeki Ala Sahabat Rasulullah, PT. Bhuana Ilmu Populer: Jakarta.
-kisahmuslim.com

Comments