Inilah Lima Cara Menarik Pembaca

Ilustrasi Gambar: A. Radityapramono. IG: @a.radityapramono

Menurut Freud, pembaca dalam membaca karya-karya kreatif (cerita pendek maupun novel) tidak hanya sekadar mencari hiburan, tetapi juga kenikmatan. Apakah itu kenikmatan yang bersifat: (a) ecstasy (kegembiraan yang luar biasa karena, misalnya menemukan kesamaan nasib dengan tokoh yang dibacanya); (b) erotic (rangsangan yang ada kaitanyya dengan kenikmatan seks); (c) dreams (menemukan apa yang diimpikan/diinginkan dari materi yang dibacanya—karena ia tidak menemukannya dari realita yang dihadapinya); (d) esthetics (keindahan dari materi yang dibacanya, khususnya bahasanya yang indah dan komunikatif).


Hasil riset Gary Provost dari Amerika Serikat—seorang penulis lepas (100 ways to Improve Your Writing, 1985), menunjukkan bahwa pembaca dari kalangan apapun, berselera tema apapun, mempunyai kriteria yang sama terhadap materi bacaan yang dibacanya. Kriteria bacaan yang menarik pembaca adalah sebagai berikut:

1. Pengarang bukan penceramah

Pembaca berharap bahwa pengarang karya yang dibacanya bukanlah seorang penceramah. Maksudnya, pengarang tidak memposisikan dirinya sebagai penceramah, melainkan sebagai pendongeng.

Pengarang yang dijuluki pembaca sebagai penceramah adalah apabila pengarang tersebut menulis karyanya seperti seorang pengkhotbah atau yang menggurui, sehingga karyanya memberi kesan sebagai petunjuk. Biasanya, karya serupa ini ditulis banyak menggunakan narasi yang merupakan media pengarang untuk menceramahi atau menggurui pembacanya.

Pembaca kurang tertarik membaca karya yang ditulis dengan gaya penceramah, karena dianggap melelahkan, bahasanya tidak indah, dan isinya dianggap terlalu berat. Ini bisa dipahami, karena karya tersebut bermuatan pesan-pesan tertentu yang diharapkan dapat mengubah pola pikir masyarakat. Selain itu, juga biasanya ditulis pengarang yang berlatar belakang akademi tertentu, atau berprofesi tertentu.

2. Tulis tentang manusia

Novelis Milan Kundera, dan juga Freud—psikiater Austria—mengatakan bahwa objek yang disajikan karya-karya kreatif seperti cerpen dan novel adalah tentang manusia dengan segala sepakterjangnya. Yaitu, hubungan manusia dengan manusia. Hubungan manusia dengan alam. Hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Atau hubungan manusia dengan ketiga unsur tersebut.

Dari ketiga unsur tersebut, yang paling menarik adalah hubungan manusia dengan manusia, karena diwarnai berbagai masalah seperti: konflik (individual maupun massal), cinta (seks), perebutan kekuasaan (takhta dan harta), agama, dan ras. Masalah yang paling banyak digemari pembaca untuk disajikan dalam cerita adalah seputar cinta (seks) dan perebutan kekuasaan. Kedua masalah ini selain penuh intrik, dironai pula romantisme, erotisme, sadisme, sinisme, dan ketamakan. Masing-masing rona tersebut ada penggemarnya untuk dinikmati sebagai pelepas tekanan jiwa. Atau untuk memuaskan ambisi-ambisi dan mimpi-mimpinya yang tidak mungkin ditemukan dalam kenyataan.

Novel Gone with the Wind karya Margaret Mitchell menjadi legendaris karena menyajikan kisah cinta segitiga yang panas antara Scarlett, Rhett, dan Ashley yang dibumbui kehadiran Melanie. Demikian juga novel Dr. Zhivago karya Boris Pasternak, serta naskah drama Romeo and Juliet karya William Shakespeare.

3. Gunakan setting yang memikat

Pembaca menyukai setting yang mengajaknya seperti ikut mengalami atau masuk dalam karya yang dibacanya. Novel-novel pop di Amerika Serikat dapat menjadi best-seller karena novel-novel tersebut ditulis dengan setting alam yang memikat.

Sebelum novel-novel pop menjamur seperti sekarang, para pengarang Amerika Serikat memang dikenal kreatif dalam menciptakan setting. Misalnya Ernest Hemingway ketika menulis novel The Old Man and The Sea; walau novel ini boleh dikatakan pendek, namun begitu mampu melukiskan secara mendalam tentang kehidupan di laut yang dijalani seorang pelaut tua. Hemingway juga menghadirkan setting berlatar Afrika dan negeri lain yang pernah dijelajahinya. Setting Hemingway tidak hanya disukai pembaca awam, tapi juga dijadikan acuan menulis para pengarang muda di Amerika maupun di Afrika dan Eropa.

Ide penggambaran setting bisa didapat dari travelling, menjelajah suatu tempat serta sekaligus mendalami kebudayaan setempat. Bisa juga didapat dari buku, namun kadang hasilnya kurang akurat, sehingga perlu juga dilengkapi dengan wawancara pada orang yang mengetahuinya.

4. Tunjukkan anda memang tahu banyak

Ketika sedang menulis, status pengarang adalah narasumber bagi karya yang ditulisnya. Karya merupakan rekaman segala informasi yang ingin disampaikan pengarang pada pembaca. Pada dasarnya, karya kreatif memang karya fiksi. Tetapi materinya bukan seratus persen fiksi. Ada objek yang sesungguhnya. Maka dari itu, pengarang perlu menyadari ketika sedang mencipta karya seyogyanya memikirkan kadar informasi pengetahuan yang akan disampaikan untuk pembaca. Di samping itu, juga perlu dipikirkan dampak maateri yang ditulisnya bagi pembaca dan tanggapan masyarakat umumnya. Sebagai contoh, novel Salman Rushdie berjudul Ayat-Ayat Setan menggemparkan kaum muslim di seluruh dunia. Bahkan ia diancam hukuman mati oleh pemerintah di negerinya. Karya itu dianggap menghina Tuhan dan umat Islam.

Contoh lain, selama Orde Baru, karya-karya Pramoedya Ananta Toer dilarang beredar karena dianggap menyebarkan ajaran komunis.dalam kasus ini, bagi pemerintah, berarti Pram dianggap paham benar masalah komunisme dan sekaligus mampu menyebarkan ajaran itu melalui karya-karyanya.

Pada dasarnya, pengarang yang ideal memang harus demikian. Ia mampu menunjukkan kemampuannya berimajinasi dan sekaligus mempresentasikan daya intelektualnya, sehingga ia dapat berkarya dengan bobot kritis dan tampil penuh estetis.

5. Ciptakan nama-nama tokoh yang mengesankan

Tokoh-tokoh yang kita ciptakan dalam karya kreatif, seyogyanya diberi nama. Tujuannya agar dikenal pembaca dengan baik. Selain itu, untuk memudahkan pembaca mengingat tokoh-tokoh yang dijumpai dalam karya yang dibaca.

Pemberian nama-nama tokoh diusahakan: (a) mudah diingat (nama yang familier); (b) tetap memiliki akar. Artinya, nama yang diciptakan sesuai dengan latar belakang kebudayaan yang ditampilkan dalam karya yang terkait; (c) tidak mengandung penghinaan, mencerca kekurangan seseorang; (d) tokoh tersebut punya nama panjang/sesungguhnya (surname) dan punya nama panggilan (nickname), dan (e) bedakan antara nama tokoh lelaki dan perempuan.

Memang, ada pengarang yang tidak menamai tokoh-tokohnya. Misalnya, Iwan Simatupang ketika menulis novel Merahnya Merah. Pelaku utamanya hanya ia sebut Tokoh Kita. Tetapi karena Iwan Simatupang termasuk pengarang yang mahir bercerita, maka tokoh sentral dalam novel itu, Tokoh Kita, kehadirannya tetap memikat. Sayangnya, pengarang yang memiliki kemampuan seperti Iwan Simatupang tidak banyak.

Hindari menghadirkan tokoh-tokoh dalam cerita Anda begitu banyak jumlahnya, tapi hanya mempunyai peran kecil.penokohan serupa ini dianggap kurang menarik, karena dirasakan membuat ribet alur cerita.

Dalam teori creative writing diajarkan bagaimana caranya mencari nama-nama tokoh rekaan. Antara lain nama tersebut bisa diperoleh dari: (a) buku telepon; (b) nama-nama anggota suatu klub/perkumpulan; (c) dari pergaulan; (d)membeli buku daftar nama untuk bayi (banyak dijual di toko baby shop), dan (e) bertanya pada orang yang dianggap tahu nama tokoh-tokoh yang akan kita hadirkan dalam karya kita.



*Disalin dari buku “CREATIVE WRITING: 72 Jurus Seni Mengarang” karya Dra. Naning Pranoto, MA

Comments